Selasa, 08 Januari 2013

STRATEGI PEMBELAJARAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM




STRATEGI PEMBELAJARAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN


MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Materi Ajar
dan Kurikulum Pendidikan Agama Islam


Dosen :
Dr. Muhajir, M.A
Dr. Wawan Wahyudin, M. Pd





                                                                                         

 




 

Oleh:
IWAN RIDWAN
NIM: 1140101046



PROGRAM PASCASARJANA 
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
“SULTAN MAULANA HASANUDIN” BANTEN
TAHUN 2012 M / 1433 H











STRATEGI PEMBELAJARAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN
Oleh: Iwan Ridwan[1]


A.    Pendahuluan
Undang-undang pendidikan nasional nomor 4 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, secara yuridis mulai diundangkan di Indonesia yaitu pada tahun 1950, adapun diberlakukannya penggunaan undang-undang tersebut sekitar tahun 1954. Kendatipun demikian ini adalah sebagai tonggak awal sejarah kemajuan pendidikan di Indonesia, serta merupakan bentuk aspirasi masyarakat dan adanya respon positif dari pemerintah berupa pengakuan akan arti penting hakikat pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Maksud pemerintah dengan diselenggarakannya pendidikan ini yaitu agar seluruh anak bangsa wajib dan berhak mengikuti pendidikan, sehingga nantinya setelah mengikuti proses pendidikan tidak ada lagi yang masih mengalami kebodohan dan tertindas oleh bangsa lain yang lebih dulu mengalami kemajuan.
Undang-undang pendidikan tahun 1950 sempat mengalami sebuah pergeseran yang hebat, hal ini disebabkan dengan adanya keinginan dan dorongan dari seluruh elemen bangsa terutama dari berbagai faktor di antaranya yaitu: politik, sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, dll.
Salah satu bentuk dari pergeseran dimaksud yaitu ditandai dengan adanya penyempurnaan terhadap isi materi undang-undang itu sendiri, yang pada akhirnya, dicabutlah undang-undang tahun 1950 tersebut dan kemudian diberlakukannya undang-undang sisdiknas tahun 1989 sebagai pengganti. Kemudian seiring dengan perjalanan waktu diadakanlah penyempurnaan kembali terhadap undang-undang sisdiknas tahun 1989, dan sebagai penggantinya yaitu undang-undang sisdiknas tahun 2003.
 Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa, pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.[2]


[1] Mahasiswa Pascasarjana IAIN “Sultan Maulana Hasanudin” Banten, Semester Tiga Tahun 2012, tinggal di Menes Pandeglang.
[2] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Guru dan Dosen, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2008) h.
  114

Kemudian pembangunan pendidikan nasional yang berjalan sekarang ini merupakan suatu upaya untuk membentuk manusia yang unggul dan berkarakter atau berakhlak mulia.[1] Karakter adalah watak, tabiat atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakininnya  dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan  bertindak.
Guna mendukung pendidikan nasional dia atas, dalam hal ini pendidikan agama memiliki peran penting untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni sosok manusia yang utuh baik dari sisi penguasaan ilmu pengetahuan maupun moralitas.[2] Untuk mewujudkannya perlu diciptakan keserasian antara ilmu  pengetahuan dengan agama.
Dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa, kemudian pemerintah melaksanakan amanat undang-undang sisdiknas tersebut yaitu dengan kewenangannya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal sebagai wahana pembelajaran. Dalam lembaga-lembaga pendidikan itulah peserta didik diberikan berbagai disiplin ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) baik ilmu agama maupun ilmu umum dan juga di didik mental rohaninya melalui sebuah proses pendidikan dan pelatihan dengan waktu yang begitu amat panjang. Adapun salah satu bagian dari proses pendidikan yaitu dengan adanya suatu aktivitas pembelajaran.
Bagi para pendidik dalam melakukan aktivitas pembelajaran hendaknya selalu berpedoman kepada kurikulum yang telah ditetapkan. Karena dari penelusuran konsep kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian, yakni: kurikulum sebagai mata pelajaran, sebagai pengalaman belajar dan sebagai perencanaan program pembelajaran.[3]
Sebagai tenaga pendidik ketika sedang melakukan proses pembelajaran banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi dan harus dihadapi di lapangan, misalnya; bagaimana menjadi guru yang baik dan profesional dalam menyampaikan materi pelajaran? Strategi apa yang telah disiapkan? Metode apa yang akan di gunakan? apakah isi materi yang disampaikan sesuai dengan acuan kurikulum? Apakan siswa-siswa mengerti dan paham dengan materi yang telah disampaikan? dst.
Untuk itu dalam menyikapi berbagai persoalan tersebut di atas, dalam alur penulisan makalah ini saya coba untuk menyoroti mengenai berbagai konten penting berkenaan dengan strategi pembelajaran kurikulum pendidikan agama Islam dalam undang-undang pendidikan mulai dari tahun 1950, 1989 dan 2003. Adapun penjelasannya dapat dilihat dalam poin pembahasan.


[1] Femmy Eka Kartika Putri, dkk, Pedoman Pembinaan Akhlak Mulia Siswa Melalui Kegiatan Ekstrakulikuler, ( Jakarta, 2010), h.1
[2] Marno, Pengembangan Bahan Ajar pada Sekolah  (Jakarta : Direktorat Pendidikan Agama Islam, UIN, 2012) h. 1
[3] Wina sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 4

A.    Pembahasan
1.      Definisi-definisi dari: Strategi, Pembelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Agama Islam.

Strategi menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.[1]
Strategi menurut Kemp dalam Rusman adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan pendidik dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien[2].
Menurut Slameto dalam Yatim Riyanto  strategi adalah suatu rencana tentang pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengajaran.[3]
Dari definisi-definisi di atas penting untuk diketahui bahwa strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjukan pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi. Dengan kata lain, strategi adalah a plan of operation achieving something; sedangkan metode adalah a way in achieving something.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa strategi yaitu sebuah rencana berupa rangkaian kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kerja yang efektif, efisien dan profesional.
Pembelajaran menurut Corey dalam Syaiful Sagala adalah suatu proses di mana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan[4]


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) h. 964
[2] Rusman, Model-model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 132
[3] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang  Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2012) h. 131
[4] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012) h.61

Menurut Dimyati dan Mudjiono masih dalam Syaiful Sagala bahwa pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat peserta didik belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. 
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 menyatakan, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[1]
Menurut Muhaemin dalam Yatim Riyanto  pembelajaran adalah upaya membelajarkan peserta didik untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan peserta didik mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien[2].  
Menurut Sujana dalam Rusman, dkk. pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan[3].
Adapun pembelajaran menurut Gagne tahun 1985: instruction is intended to promote learning, external situation need to be arranged to activate, support and maintain the internal processing that constitutes ach learning event.[4]
Dari pendapat Gagne di atas dapat kita artikan, pembelajaran dimaksudkan untuk menghasilkan belajar, situasi eksternal harus dirancang sedemikian rupa untuk mengaktifkan, mendukung dan mempertahankan proses internal yang terdapat dalam setiap peristiwa belajar.


[1] Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Indonesia legal center publishing, 2008) h. 111
[2] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2012) h. 131
[3] Rusman, Deni Kurniawan, Cepi Riyana, Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Membangun  Profesionalitas Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 16
[4] Eveline Siregar, Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) h. 12

 
Pembelajaran adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar, yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran juga merupakan proses komunikasi dua arah, yaitu mengajar dilakukan oleh pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik.
Dari beberapa definisi di atas, makna pembelajaran dapat penulis disimpulkan yaitu sebagai proses kegiatan belajar mengajar. Dalam konteks pembelajaran ada dua kata kunci penting, yaitu pendidik dan peserta didik yang keduanya saling berinteraksi hingga tujuan dapat tercapai dengan baik dan benar.
Kita ketahui bahwa kata “Kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yaitu “currere” yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start sampai finish. Makna ini kemudian diadopsi ke dalam bidang pendidikan. Adapun “kurikulum” dalam bahasa Arab diartikan dengan Manhaj,  yakni jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai.
Kurikulum menurut  Al-khauly dalam Muhaemin yaitu al-Manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.[1]
Menurut Nasution dalam Muhaemin mengatakan pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran atau kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat; juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan.
Beberapa pengertian kurikulum menurut Hafni Ladjid[2] adalah:


[1] Muhaemin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)  h. 1
[2] Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005)  h. 2

1.      Kurikulum dipandang sebagai suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program pendidikan suatu sekolah yang harus dilaksanakan dari tahun ke tahun.
2.      Kurikulum dilukiskan sebagai bahan tertulis untuk digunakan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
3.      Yang dimaksud dengan kurikulum adalah suatu usaha untuk menyampaikan asas-asas yang penting dari suatu rencana dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan guru di sekolah.
4.      Kurikulum diartikan sebagai tujuan pengajaran, pengalaman-pengalaman belajar, alat-alat pelajaran dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam pendidikan.
5.      Kurikulum dipandang sebagai program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Dari definisi-definisi di atas makna kurikulum dapat penulis simpulkan yaitu, seperangkat rencana pembelajaran, tujuan, isi pelajaran, metode, media, dan evaluasi yang harus dimiliki dan dikuasai pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan.
Banyak orang merancukan antara pengertian “Pendidikan Agama Islam”  dengan “Pendidikan Islam”. Kedua istilah ini dianggap sama, sehingga ketika seseorang berbicara tentang pendidikan Islam ternyata isinya terbatas pada pendidikan agama Islam, atau sebaliknya ketika seseorang berbicara tentang pendidikan agama Islam justru yang dibahas di dalamnya adalah tentang pendidikan Islam. Padahal kedua istilah itu memiliki substansi yang berbeda.
Menurut Tafsir dalam Muhaemin membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) dan Pendidikan Islam. PAI dilakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “Agama Islam”, karena yang diajarkan adalah agama Islam bukan pendidikan agama Islam . Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Sedangkan pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim yang diidealkan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan Al- Qur’an dan hadis[1].
Berikut ini penulis coba menyajikan beberapa perbedaan pendapat para ahli pendidikan dalam merumuskan pengertian “pendidikan Islam” dengan “pendidikan agama Islam” di antaranya sebagai berikut:
Menurut Muhamad Athiyah Al-Abrasyi dalam Eneng Muslihah memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam (At-Tarbiyah Al-Islamiyah) mempersiapkan manusia hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, segenap jasmaninyahnya; sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, mahir tutur katanya dengan lisan dan tulisan[2].
Menurut Ahmad D. Marimba dalam Eneng Muslihah Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam[3].
Menurut Depag RI dalam Darwyan Syah, dkk pendidikan Agama Islam merupakan usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup dunia maupun akhirat kelak.[4]
1.      Strategi Pembelajaran Kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam Undang-undang Pendidikan Tahun 1950, 1989 dan 2003.


[1] Muhaemin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009)  h. 6
[2] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Diadit Media, 2010)  h. 2
[3] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Diadit Media, 2010) h. 3
[4] Darwya Syah, Djazimi, Supardi, Pengembangan Evaluasi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Diadit Media, 2009) h. 28

Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal.[1] Dari definisi di atas, strategi pembelajaran berarti mencakup rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita korelasikan dengan pendidikan agama Islam sebagaimana yang dinyatakan Tafsir yaitu kegiatan atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam.
Dalam menentukan strategi pembelajaran pendidikan agama Islam harus diperhatikan beberapa komponen, yaitu: tujuan pembelajaran, guru, peserta didik, materi pembelajaran, metode pembelajaran, faktor administrasi dan finansial (misalnya jadwal pelajaran, kondisi ruang belajar). Selanjutnya dapat kita jelaskan sebagai berikut:
1)      Menurut Undang-undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah[2]:

a.       Tujuan pembelajaran;
Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang tjakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan masjarakat dan tanah air. (pasal 3)

b.      Guru;
Sjarat utama untuk mendjadi guru, selain idjazah dan sjarat-sjarat jang mengenai kesehatan djasmani dan rochani, ialah sifat-sifat jang perlu untuk dapat memberi pendidikan dan pengadjaran seperti jang dimaksud dalam pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang ini. (pasal 15)

Di dalam sekolah, guru-guru harus menghormati tiap-tiap aliran agama atau kejakinan hidup. (pasal 16)

c.       Peserta didik;
Tiap-tiap warga negara Republik Indonesia mempunjai hak jang sama untuk diterima mendjadi murid suatu sekolah, djika memenuhi sjarat-sjarat jang ditetapkan untuk pendidikan dan pengadjaran pada sekolah itu. (pasal 17)


[1] Pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan ilmu pengetahuan alam kementrian pendidikan nasional 2012, h. 5
[2] Database Peraturan, http://ngada.org

 
Peraturan-peraturan  jang  memuat sjarat-sjarat tentang penerimaan, penolakan dan pengeluaran murid-murid ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. (pasal 18)
1.      Murid-murid jang ternjata pandai, tetapi  tidak. mampu membajar biaja sekolah, dapat menerima sokongan dari Pemerintah, menurut aturan-aturan jang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan.
2.      Untuk beberapa matjam sekolah dapat diadakan peraturan pemberian sokongan kepada murid-murid, dengan perdjandjian bahwa murid-murid itu sesudah tamat beladjar akan bekerdja dalam djawatan Pemerintah untuk waktu jang ditetapkan. (pasal 19)

b.      Materi pembelajaran;
1.      Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan peladjaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknja akan mengikuti peladjaran tersebut.
2.      Tjara menjelenggarakan pengadjaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan jang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. (pasal 20).

c.       Metode pembelajaran;
Pada masa ini metode pembelajaran masih bersifat klasik atau konvensional dan metode yang dominan digunakan yaitu metode ceramah.
Pendekatan pembelajaran berorientasi pada guru (teacher centered approaches), dalam pendekatan ini guru menempatkan diri sebagai orang yang serba bisa dan sebagai satu-satunya sumber belajar.[1]
Penggunaan media pembelajaran belum begitu nampak, seperti halnya media komputer belum masuk dan digunakan di sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah.

d.      Administrasi dan finansial; Disekolah-sekolah rendah dan sekolah-sekolah luar biasa tidak dipungut uang sekolah maupun uang alat-alat peladjaran. (pasal 22)
Disemua sekolah negeri, ketjuali sekolah rendah dan sekolah luar biasa, murid-murid membajar uang sekolah jang ditetapkan menurut kekuatan orang tuanja. (pasal 23)
Untuk pendidikan pada beberapa sekolah menengah dan sekolah kepandaian (keachlian) murid-murid membajar sedjumlah uang pengganti pemakaian alat-alat peladjaran. (pasal 24)
Murid-murid jang ternjata pandai, tetapi tidak mampu membajar uang sekolah dan uang alat-alat peladjaran, dapat dibebaskan dan pembajaran biaja itu. Aturan tentang pembebasan ini ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. (pasal 25)


[1] Rusman, Deni Kurniawan, Cepi Riyana, Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Mengembangkan Profesional Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 45

1)      Menurut Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional[1]:

a.       Tujuan pembelajaran, Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (pasal 4)

b.      Guru;
(1)   Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.

(2)   Tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar.

(3)   Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen. (pasal 27).

(1)   Penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar.

(2)   Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.

(3)   Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
      pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan
      tenaga keguruan. (pasal 28)

c.       Peserta didik;
(1)   Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik.

(2)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. (pasal 23).

Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut :
1.      Mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan       kemampuannya;
2.      Mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar      pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan      diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan    tertentu yang telah dibakukan;
3.      Pendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku;


[1] Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989, (Bandung: 1994)

1.      Pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki;
2.      Memperoleh penuaian hasil belajarnya;
3.      Menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang      ditentukan;
4.      Mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat. (pasal 24).

(1)   Setiap peserta didik berkewajiban untuk :
1.      Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2.      Mematuhi semua peraturan yang berlaku;
3.      Menghormati tenaga kependidikan;
4.      Ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan.
(2)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. (pasal 25)

Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing. (pasal 26).

a.       Materi pembelajaran;
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. (pasal 37)

1.      Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

2.      Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:
a. Pendidikan Pancasila;
b. Pendidikan agama; dan
c. Pendidikan kewarganegaraan.

3.      Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang :
a.       Pendidikan Pancasila;
b.      Pendidikan agama;
c.       Pendidikan kewarganegaraan;
d.      Bahasa Indonesia;
b.      Membaca dan menulis;
c.       Matematika (termasuk berhitung);
d.      Pengantar sains dan teknologi;
e.       Ilmu bumi;
f.       Sejarah nasional dan sejarah umum;
g.      Kerajinan tangan dan kesenian;
h.      Pendidikan jasmani dan kesehatan;
i.        Menggambar; serta
j.        Bahasa Inggris.[1]

4.      Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)diatur oleh Menteri. (pasal 39).

a)      Keputusan Menteri Agama RI No. 368 Tahun 1993, untuk jenjang Madrasah Ibtidaiyah, yaitu:

Pada pasal 16, disebutkan:
1.      Isi kurikulum MI merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan MI.
2.      Isi kurikulum MI wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran:
1.      Pendidikan Pancasila
2.      Pendidikan Agama Islam:
a)   Qur’an-Hadits, b) Aqidah-Akhlak, c) Fiqih,
d) Sejarah Kebudayaan Islam, dan  e) Bahasa Arab.[2]

b)      Keputusan Menteri Agama RI No. 369 Tahun 1993, untuk jenjang Madrasah Tsanawiyah, menyebutkan:
1.      Isi kurikulum MTs merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan MTs.
2.      Ciri khas agama Islam diwujudkan dalam bentuk pengembangan bahan kajian pelajaran pendidikan agama, penciptaan suasana keagamaan dan penjiwaan semua bahan kajian dan pelajaran dengan ajaran agama Islam.
3.      Isi kurikulum MTs yang berlaku secara nasional sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian dan pelajaran :
1.      Pendidikan Pancasila
2.      Pendidikan Agama:
a)   Qur’an-Hadits, b) Aqidah-Akhlak, c) Fiqih,
c)   Sejarah Kebudayaan Islam, dan e) Bahasa Arab.
    (pasal 19).[3]

e.       Metode pembelajaran;
Metode yang sering digunakan yaitu ceramah, demonstrasi, diskusi, eksperimen, dll. 
Pada masa periode ini adanya pergeseran dari pola pembelajaran klasik ke modern. Hal ini ditandai dengan penggunaan berbagai sumber belajar dan media pembelajaran, seperti halnya penggunaan OHP, komputer, dll oleh siswa dan guru dalam membantu proses pembelajaran.

f.       Administrasi dan finansial;
Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah.


[1] Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989,(Bandung: 1994) h.19-20
[2] Idid, h. 251
[3] Ibid, h. 270-271


1.      Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan.
2.      Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku. (pasal 36).

2)      Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:[1]

a.       Tujuan pembelajaran;
Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (pasal 3).

b.      Guru;
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. (pasal 39).

(1)   Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)   Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah; dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3)   Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 42).

c.       Peserta didik;
(1)   Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a)      Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b)      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
c)      Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
d)     Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
e)      Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f)       Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2)   Setiap peserta didik berkewajiban:
a)      Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.


[1] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 303

 
a)      Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(1)   Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)   Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 12).

b.      Materi pembelajaran;
(1)   Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)   Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3)   Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a)      Peningkatan iman dan takwa;
b)      Peningkatan akhlak mulia;
c)      Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d)     Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e)      Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f)       Tuntutan dunia kerja;
g)      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h)      Agama;
i)        Dinamika perkembangan global; dan
j)        Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4)   Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 36).

1)      Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.       Pendidikan agama;
b.      Pendidikan kewarganegaraan;
c.       Bahasa;
d.      Matematika;
e.       Ilmu pengetahuan alam;
f.       Ilmu pengetahuan sosial;
g.      Seni dan budaya;
h.      Pendidikan jasmani dan olahraga;
i.        Keterampilan/ kejuruan; dan
j.        Muatan lokal.
2)      Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a.       Pendidikan agama;
b.      Pendidikan kewarganegaraan; dan
c.       Bahasa.
Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 37).
 
a)      Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(1)   Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)   Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 12).

b.      Materi pembelajaran;
(1)   Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)   Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3)   Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a)      Peningkatan iman dan takwa;
b)      Peningkatan akhlak mulia;
c)      Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d)     Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e)      Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f)       Tuntutan dunia kerja;
g)      Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h)      Agama;
i)        Dinamika perkembangan global; dan
j)        Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4)   Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 36).

1)      Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.       Pendidikan agama;
b.      Pendidikan kewarganegaraan;
c.       Bahasa;
d.      Matematika;
e.       Ilmu pengetahuan alam;
f.       Ilmu pengetahuan sosial;
g.      Seni dan budaya;
h.      Pendidikan jasmani dan olahraga;
i.        Keterampilan/ kejuruan; dan
j.        Muatan lokal.
2)      Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a.       Pendidikan agama;
b.      Pendidikan kewarganegaraan; dan
c.       Bahasa.
3)      Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 37).



c.       Metode pembelajaran;
Pada era ini pendekatan pembelajaran berorientasi pada siswa (student centered approaches), yaitu pendekatan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar dan kegiatan belajar bersifat modern. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa, manajemen, dan pengelolaannya ditentukan oleh siswa. Pada pendekatan ini siswa memiliki kesempatan yang terbuka untuk melakukan kreativitas dan mengembangkan potensinya melalui aktivitas secara langsung sesuai dengan minat dan keinginannya.[1]
Pendekatan ini, selanjutnya menurunkan strategi pembelajaran  discovery dan  inkuiry serta strategi pembelajaran induktif, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada strategi ini peran guru lebih menempatkan diri sebagai fasilitator, pembimbing sehingga kegiatan belajar siswa menjadi lebih terarah.
Metode yang sering digunakan yaitu ceramah, demonstrasi, diskusi, eksperimen, dll. 
Pada era modern proses pembelajaran mengalami kemajuan yang pesat, ditandai dengan penggunaan berbagai sumber belajar dan multimedia dalam pembelajaran, seperti penggunaan teknologi informasi dan teknologi komunikasi.

d.      Administrasi dan finansial;
(1)   Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah; pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3)   Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 46).

(1)   Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2)   Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 47).

(1)   Pengelolaan dan pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
(2)   Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 48).

(1)   Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


[1] Rusman, Deni Kurniawan, Cepi Riyana, Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Mengembangkan Profesional Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 46


(1)   Dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)   Dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 49).

A.    Penutup
Kesimpulan
a.       Strategi yaitu sebuah rencana berupa rangkaian kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kerja yang efektif, efisien dan profesional. (Pendapat penulis)
b.      Pembelajaran yaitu sebagai proses kegiatan belajar mengajar. Dalam konteks pembelajaran ada dua kata kunci penting, yaitu pendidik dan peserta didik yang keduanya saling berinteraksi. (Pendapat penulis)
c.        Kurikulum yaitu, seperangkat rencana pembelajaran, tujuan, isi pelajaran, metode, media, dan evaluasi yang harus dimiliki dan dikuasai pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan. (Pendapat penulis)
d.      Pendidikan Agama Islam merupakan usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup dunia maupun akhirat kelak. (Versi Departemen Agama RI).
e.       Strategi pembelajaran kurikulum pendidikan agama Islam dalam undang-undang pendidikan antara tahun 1950, 1989 dan 2003 perbedaan kontennya dapat kita lihat pada beberapa komponen, yaitu: komponen tujuan pembelajaran, guru, peserta didik, materi pembelajaran, metode pembelajaran, faktor administrasi dan finansial.
Daftar Pustaka
Database Peraturan, http://ngada.org. (Undang-undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996).

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).

Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989, (Bandung: 1994).

Ladjid, Hafni, Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005).

Marno, Pengembangan Bahan Ajar pada Sekolah  (Jakarta : Direktorat Pendidikan Agama Islam, UIN, 2012).

Muhaemin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).

Muslihah, Eneng, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Diadit Media, 2019).

Pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan ilmu pengetahuan alam kementrian pendidikan nasional 2012.

Putri, Eka Kartika, Femmy dkk, Pedoman Pembinaan Akhlak Mulia Siswa Melalui Kegiatan Ekstrakulikuler, ( Jakarta, 2010).

Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang  Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2012).

Rusman, Kurniawan, Deni, Riyana, Cepi, Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Membangun  Profesionalitas Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).

Rusman, Model-model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).

Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012).

Sanjaya, Wina,  Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2010)

Siregar, Eveline, Nara, Hartini, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Indonesia legal center publishing, 2008)

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar