STRATEGI
PEMBELAJARAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN
MAKALAH
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Materi Ajar
dan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam
Dosen :
Dr. Muhajir, M.A
Dr. Wawan
Wahyudin, M. Pd
Oleh:
IWAN RIDWAN
NIM: 1140101046
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
“SULTAN MAULANA
HASANUDIN” BANTEN
TAHUN 2012 M /
1433 H
STRATEGI
PEMBELAJARAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN
Oleh: Iwan Ridwan[1]
A.
Pendahuluan
Undang-undang pendidikan nasional
nomor 4 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, secara
yuridis mulai diundangkan di Indonesia yaitu pada tahun 1950, adapun
diberlakukannya penggunaan undang-undang tersebut sekitar tahun 1954. Kendatipun
demikian ini adalah sebagai tonggak awal sejarah kemajuan pendidikan di
Indonesia, serta merupakan bentuk aspirasi masyarakat dan adanya respon positif
dari pemerintah berupa pengakuan akan arti penting hakikat pendidikan bagi
seluruh warga negara Indonesia.
Maksud pemerintah dengan diselenggarakannya
pendidikan ini yaitu agar seluruh anak bangsa wajib dan berhak mengikuti
pendidikan, sehingga nantinya setelah mengikuti proses pendidikan tidak ada
lagi yang masih mengalami kebodohan dan tertindas oleh bangsa lain yang lebih
dulu mengalami kemajuan.
Undang-undang pendidikan tahun 1950 sempat
mengalami sebuah pergeseran yang hebat, hal ini disebabkan dengan adanya keinginan
dan dorongan dari seluruh elemen bangsa terutama dari berbagai faktor di
antaranya yaitu: politik, sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, dll.
Salah satu bentuk dari pergeseran
dimaksud yaitu ditandai dengan adanya penyempurnaan terhadap isi materi
undang-undang itu sendiri, yang pada akhirnya, dicabutlah undang-undang tahun
1950 tersebut dan kemudian diberlakukannya undang-undang sisdiknas tahun 1989
sebagai pengganti. Kemudian seiring dengan perjalanan waktu diadakanlah penyempurnaan
kembali terhadap undang-undang sisdiknas tahun 1989, dan sebagai penggantinya
yaitu undang-undang sisdiknas tahun 2003.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa, pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.[2]
[1] Mahasiswa Pascasarjana IAIN “Sultan Maulana Hasanudin”
Banten, Semester Tiga Tahun 2012, tinggal di Menes Pandeglang.
[2] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Guru
dan Dosen, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2008) h.
114
Kemudian pembangunan pendidikan nasional yang
berjalan sekarang ini merupakan suatu upaya untuk membentuk manusia yang unggul
dan berkarakter atau berakhlak mulia.[1]
Karakter adalah watak, tabiat atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakininnya dan digunakannya sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
Guna mendukung pendidikan nasional
dia atas, dalam hal ini pendidikan agama memiliki peran penting
untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni sosok manusia yang utuh
baik dari sisi penguasaan ilmu pengetahuan maupun moralitas.[2]
Untuk mewujudkannya perlu diciptakan keserasian antara ilmu pengetahuan dengan agama.
Dalam mewujudkan cita-cita luhur
bangsa, kemudian pemerintah melaksanakan amanat undang-undang sisdiknas
tersebut yaitu dengan kewenangannya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
formal dan non formal sebagai wahana pembelajaran. Dalam lembaga-lembaga
pendidikan itulah peserta didik diberikan berbagai disiplin ilmu pengetahuan (transfer
of knowledge) baik ilmu agama maupun ilmu umum dan juga di didik mental rohaninya
melalui sebuah proses pendidikan dan pelatihan dengan waktu yang begitu amat
panjang. Adapun salah satu bagian dari proses pendidikan yaitu dengan adanya
suatu aktivitas pembelajaran.
Bagi para pendidik dalam melakukan aktivitas
pembelajaran hendaknya selalu berpedoman kepada kurikulum yang telah
ditetapkan. Karena dari penelusuran konsep kurikulum memiliki tiga dimensi
pengertian, yakni: kurikulum sebagai mata pelajaran, sebagai pengalaman belajar
dan sebagai perencanaan program pembelajaran.[3]
Sebagai tenaga pendidik ketika
sedang melakukan proses pembelajaran banyak permasalahan-permasalahan yang
terjadi dan harus dihadapi di lapangan, misalnya; bagaimana menjadi guru yang
baik dan profesional dalam menyampaikan materi pelajaran? Strategi apa yang
telah disiapkan? Metode apa yang akan di gunakan? apakah isi materi yang
disampaikan sesuai dengan acuan kurikulum? Apakan siswa-siswa mengerti dan
paham dengan materi yang telah disampaikan? dst.
Untuk itu dalam menyikapi berbagai
persoalan tersebut di atas, dalam alur penulisan makalah ini saya coba untuk menyoroti
mengenai berbagai konten penting berkenaan dengan strategi pembelajaran
kurikulum pendidikan agama Islam dalam undang-undang pendidikan mulai dari
tahun 1950, 1989 dan 2003. Adapun penjelasannya dapat dilihat dalam poin pembahasan.
[1] Femmy Eka Kartika Putri, dkk, Pedoman Pembinaan
Akhlak Mulia Siswa Melalui Kegiatan Ekstrakulikuler, ( Jakarta, 2010), h.1
[2] Marno, Pengembangan Bahan Ajar pada Sekolah (Jakarta : Direktorat Pendidikan Agama
Islam, UIN, 2012) h. 1
[3] Wina sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran,
(Jakarta: Kencana, 2010) h. 4
A.
Pembahasan
1.
Definisi-definisi dari: Strategi, Pembelajaran,
Kurikulum dan Pendidikan Agama Islam.
Strategi
menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu rencana yang cermat mengenai
kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.[1]
Strategi menurut Kemp dalam Rusman adalah suatu kegiatan pembelajaran
yang harus dikerjakan pendidik dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat
dicapai secara efektif dan efisien[2].
Menurut Slameto dalam Yatim Riyanto strategi adalah suatu rencana tentang
pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pengajaran.[3]
Dari definisi-definisi di atas penting untuk diketahui bahwa strategi
berbeda dengan metode. Strategi menunjukan pada sebuah perencanaan untuk
mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk
melaksanakan strategi. Dengan kata lain, strategi adalah a plan of operation
achieving something; sedangkan metode adalah a way in achieving
something.
Berdasarkan
penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa strategi yaitu sebuah rencana
berupa rangkaian kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran
dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kerja yang
efektif, efisien dan profesional.
Pembelajaran
menurut Corey dalam Syaiful Sagala adalah suatu proses di mana lingkungan
seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam
tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon
terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan[4]
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996) h. 964
[2] Rusman, Model-model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme
Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 132
[3] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai
Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta:
Kencana, 2012) h. 131
[4] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran,
(Bandung: Alfabeta, 2012) h.61
Menurut
Dimyati dan Mudjiono masih dalam Syaiful Sagala bahwa pembelajaran adalah
kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat
peserta didik belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
menyatakan, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[1]
Menurut Muhaemin dalam Yatim Riyanto pembelajaran adalah upaya membelajarkan
peserta didik untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan peserta
didik mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien[2].
Menurut
Sujana dalam Rusman, dkk. pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya
yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif
antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik
(sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan[3].
Adapun pembelajaran menurut Gagne tahun 1985: instruction is
intended to promote learning, external situation need to be arranged to
activate, support and maintain the internal processing that constitutes ach
learning event.[4]
Dari pendapat Gagne di atas dapat kita artikan, pembelajaran
dimaksudkan untuk menghasilkan belajar, situasi eksternal harus dirancang
sedemikian rupa untuk mengaktifkan, mendukung dan mempertahankan proses
internal yang terdapat dalam setiap peristiwa belajar.
[1] Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Sistem
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Indonesia legal center publishing, 2008) h.
111
[2] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai
Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan
Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2012) h. 131
[3] Rusman, Deni Kurniawan, Cepi Riyana, Pembelajaran
Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011) h. 16
[4] Eveline Siregar, Hartini Nara, Teori Belajar dan
Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) h. 12
Pembelajaran
adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan maupun teori
belajar, yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran juga
merupakan proses komunikasi dua arah, yaitu mengajar dilakukan oleh pendidik,
sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik.
Dari beberapa definisi di atas, makna pembelajaran dapat penulis
disimpulkan yaitu sebagai proses kegiatan belajar mengajar. Dalam konteks
pembelajaran ada dua kata kunci penting, yaitu pendidik dan peserta didik yang
keduanya saling berinteraksi hingga tujuan dapat tercapai dengan baik dan benar.
Kita ketahui bahwa kata “Kurikulum” berasal dari bahasa Yunani
yaitu “currere” yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus
ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start sampai finish.
Makna ini kemudian diadopsi ke dalam bidang pendidikan. Adapun “kurikulum” dalam
bahasa Arab diartikan dengan Manhaj, yakni jalan terang yang dilalui oleh manusia
pada bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang
yang dilalui oleh pendidik dengan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai.
Kurikulum menurut Al-khauly dalam
Muhaemin yaitu al-Manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk
mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan.[1]
Menurut
Nasution dalam Muhaemin mengatakan pengertian yang lama tentang kurikulum lebih
menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata
pelajaran atau kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh
untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat; juga keseluruhan pelajaran yang
disajikan oleh suatu lembaga pendidikan.
Beberapa pengertian kurikulum
menurut Hafni Ladjid[2]
adalah:
[1] Muhaemin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam, di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009) h. 1
[2] Hafni Ladjid, Pengembangan Kurikulum Menuju
Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005) h. 2
1.
Kurikulum dipandang
sebagai suatu bahan tertulis yang berisi uraian tentang program pendidikan
suatu sekolah yang harus dilaksanakan dari tahun ke tahun.
2.
Kurikulum
dilukiskan sebagai bahan tertulis untuk digunakan para pendidik dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
3.
Yang dimaksud
dengan kurikulum adalah suatu usaha untuk menyampaikan asas-asas yang penting
dari suatu rencana dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga dapat
dilaksanakan guru di sekolah.
4.
Kurikulum
diartikan sebagai tujuan pengajaran, pengalaman-pengalaman belajar, alat-alat
pelajaran dan cara-cara penilaian yang direncanakan dan digunakan dalam
pendidikan.
5.
Kurikulum
dipandang sebagai program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Dari
definisi-definisi di atas makna kurikulum dapat penulis simpulkan yaitu, seperangkat
rencana pembelajaran, tujuan, isi pelajaran, metode, media, dan evaluasi yang
harus dimiliki dan dikuasai pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan.
Banyak
orang merancukan antara pengertian “Pendidikan Agama Islam” dengan “Pendidikan Islam”. Kedua istilah ini
dianggap sama, sehingga ketika seseorang berbicara tentang pendidikan Islam
ternyata isinya terbatas pada pendidikan agama Islam, atau sebaliknya ketika
seseorang berbicara tentang pendidikan agama Islam justru yang dibahas di
dalamnya adalah tentang pendidikan Islam. Padahal kedua istilah itu memiliki
substansi yang berbeda.
Menurut Tafsir dalam Muhaemin
membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) dan Pendidikan Islam. PAI dilakukan
sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran
seharusnya dinamakan “Agama Islam”, karena yang diajarkan adalah agama Islam
bukan pendidikan agama Islam . Nama kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan
agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Sedangkan pendidikan Islam
adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki
komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok muslim
yang diidealkan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun
berdasarkan Al- Qur’an dan hadis[1].
Berikut ini penulis coba menyajikan
beberapa perbedaan pendapat para ahli pendidikan dalam merumuskan pengertian “pendidikan
Islam” dengan “pendidikan agama Islam” di antaranya sebagai berikut:
Menurut Muhamad Athiyah Al-Abrasyi dalam
Eneng Muslihah memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam (At-Tarbiyah
Al-Islamiyah) mempersiapkan manusia hidup dengan sempurna dan bahagia,
mencintai tanah air, segenap jasmaninyahnya; sempurna budi pekertinya (akhlaknya),
teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, mahir tutur
katanya dengan lisan dan tulisan[2].
Menurut
Ahmad D. Marimba dalam Eneng Muslihah Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani
dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam[3].
Menurut Depag
RI dalam Darwyan Syah, dkk pendidikan Agama Islam merupakan usaha bimbingan dan
asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia
dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam sebagai
suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup dunia maupun
akhirat kelak.[4]
1.
Strategi Pembelajaran Kurikulum Pendidikan
Agama Islam dalam Undang-undang Pendidikan Tahun 1950, 1989 dan 2003.
[1] Muhaemin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009) h. 6
[2] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Diadit Media, 2010) h. 2
[3] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:
Diadit Media, 2010) h. 3
[4] Darwya Syah, Djazimi, Supardi, Pengembangan
Evaluasi Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Diadit Media, 2009) h. 28
Strategi
pembelajaran dapat diartikan sebagai a plan, method, or series of activities
designed to achieves a particular educational goal.[1]
Dari definisi di atas, strategi pembelajaran berarti mencakup rencana, metode
dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita korelasikan dengan
pendidikan agama Islam sebagaimana yang dinyatakan Tafsir yaitu kegiatan atau usaha-usaha
dalam mendidikkan agama Islam.
Dalam menentukan strategi pembelajaran pendidikan agama Islam harus
diperhatikan beberapa komponen, yaitu: tujuan pembelajaran, guru, peserta
didik, materi pembelajaran, metode pembelajaran, faktor administrasi dan
finansial (misalnya jadwal pelajaran, kondisi ruang belajar). Selanjutnya dapat
kita jelaskan sebagai berikut:
1)
Menurut Undang-undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 tentang
Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah[2]:
a.
Tujuan
pembelajaran;
Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk
manusia susila jang tjakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung
djawab tentang kesedjahteraan masjarakat dan tanah air. (pasal 3)
b.
Guru;
Sjarat utama
untuk mendjadi guru, selain idjazah dan sjarat-sjarat jang mengenai kesehatan
djasmani dan rochani, ialah sifat-sifat jang perlu untuk dapat memberi
pendidikan dan pengadjaran seperti jang dimaksud dalam pasal 3, pasal 4 dan
pasal 5 Undang-Undang ini. (pasal 15)
Di dalam
sekolah, guru-guru harus menghormati tiap-tiap aliran agama atau kejakinan
hidup. (pasal 16)
c.
Peserta didik;
Tiap-tiap warga
negara Republik Indonesia mempunjai hak jang sama untuk diterima mendjadi murid
suatu sekolah, djika memenuhi sjarat-sjarat jang ditetapkan untuk pendidikan
dan pengadjaran pada sekolah itu. (pasal 17)
Peraturan-peraturan jang memuat
sjarat-sjarat tentang penerimaan, penolakan dan pengeluaran murid-murid
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. (pasal 18)
1.
Murid-murid jang ternjata pandai, tetapi
tidak. mampu membajar biaja sekolah, dapat menerima sokongan dari
Pemerintah, menurut aturan-aturan jang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan.
2.
Untuk beberapa matjam sekolah dapat diadakan
peraturan pemberian sokongan kepada murid-murid, dengan perdjandjian bahwa
murid-murid itu sesudah tamat beladjar akan bekerdja dalam djawatan Pemerintah
untuk waktu jang ditetapkan. (pasal 19)
b.
Materi pembelajaran;
1.
Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan
peladjaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknja akan mengikuti
peladjaran tersebut.
2.
Tjara menjelenggarakan pengadjaran agama di sekolah-sekolah
negeri diatur dalam peraturan jang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. (pasal 20).
c.
Metode pembelajaran;
Pada masa ini metode pembelajaran masih
bersifat klasik atau konvensional dan metode yang dominan digunakan yaitu
metode ceramah.
Pendekatan pembelajaran berorientasi pada guru
(teacher centered approaches), dalam pendekatan ini guru menempatkan
diri sebagai orang yang serba bisa dan sebagai satu-satunya sumber belajar.[1]
Penggunaan media pembelajaran belum begitu
nampak, seperti halnya media komputer belum masuk dan digunakan di
sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah.
d.
Administrasi dan finansial; Disekolah-sekolah
rendah dan sekolah-sekolah luar biasa tidak dipungut uang sekolah maupun uang
alat-alat peladjaran. (pasal 22)
Disemua sekolah negeri, ketjuali sekolah rendah
dan sekolah luar biasa, murid-murid membajar uang sekolah jang ditetapkan
menurut kekuatan orang tuanja. (pasal 23)
Untuk pendidikan pada beberapa sekolah menengah
dan sekolah kepandaian (keachlian) murid-murid membajar sedjumlah uang
pengganti pemakaian alat-alat peladjaran. (pasal 24)
Murid-murid jang ternjata pandai, tetapi tidak
mampu membajar uang sekolah dan uang alat-alat peladjaran, dapat dibebaskan dan
pembajaran biaja itu. Aturan tentang pembebasan ini ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. (pasal 25)
[1] Rusman, Deni Kurniawan, Cepi Riyana, Pembelajaran
Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Mengembangkan Profesional Guru (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011) h. 45
1)
Menurut Undang RI
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional[1]:
a.
Tujuan
pembelajaran, Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan. (pasal 4)
b.
Guru;
(1)
Tenaga
kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti,
mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
(2)
Tenaga
kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik
pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran dan
teknisi sumber belajar.
(3)
Tenaga pengajar
merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar,
yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan
tinggi disebut dosen. (pasal 27).
(1)
Penyelenggaraan
kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar.
(2)
Untuk dapat
diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang
dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar.
(3)
Pengadaan guru
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan
tenaga keguruan. (pasal 28)
c.
Peserta didik;
(1)
Pendidikan
nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta
didik.
(2)
Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. (pasal 23).
Setiap peserta didik pada suatu satuan
pendidikan mempunyai hak-hak berikut :
1.
Mendapat
perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
2.
Mengikuti program
pendidikan yang bersangkutan atas dasar
pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan
tingkat pendidikan tertentu yang telah
dibakukan;
3.
Pendapat
bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan
persyaratan yang berlaku;
[1] Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, Undang-undang
RI Nomor 2 Tahun 1989, (Bandung: 1994)
1.
Pindah ke
satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan
persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak
dimasuki;
2.
Memperoleh
penuaian hasil belajarnya;
3.
Menyelesaikan
program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan;
4.
Mendapat
pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat. (pasal 24).
(1)
Setiap peserta
didik berkewajiban untuk :
1.
Ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan
dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
2.
Mematuhi semua
peraturan yang berlaku;
3.
Menghormati
tenaga kependidikan;
4.
Ikut memelihara
sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan satuan
pendidikan yang bersangkutan.
(2)
Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. (pasal 25)
Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan
kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing. (pasal 26).
a.
Materi
pembelajaran;
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan
lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan
pendidikan. (pasal 37)
1.
Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk
mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam
rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
2.
Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib
memuat:
a. Pendidikan Pancasila;
b. Pendidikan agama; dan
c. Pendidikan kewarganegaraan.
3.
Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian
dan pelajaran tentang :
a.
Pendidikan Pancasila;
b.
Pendidikan agama;
c.
Pendidikan kewarganegaraan;
d.
Bahasa Indonesia;
b.
Membaca dan menulis;
c.
Matematika (termasuk berhitung);
d.
Pengantar sains dan teknologi;
e.
Ilmu bumi;
f.
Sejarah nasional dan sejarah umum;
g.
Kerajinan tangan dan kesenian;
h.
Pendidikan jasmani dan kesehatan;
i.
Menggambar; serta
j.
Bahasa Inggris.[1]
4.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3)diatur oleh Menteri. (pasal 39).
a)
Keputusan
Menteri Agama RI No. 368 Tahun 1993, untuk jenjang Madrasah Ibtidaiyah, yaitu:
Pada
pasal 16, disebutkan:
1.
Isi kurikulum
MI merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan MI.
2.
Isi kurikulum
MI wajib memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran:
1.
Pendidikan Pancasila
2.
Pendidikan
Agama Islam:
a)
Qur’an-Hadits,
b) Aqidah-Akhlak, c) Fiqih,
d) Sejarah
Kebudayaan Islam, dan e) Bahasa Arab.[2]
b)
Keputusan
Menteri Agama RI No. 369 Tahun 1993, untuk jenjang Madrasah Tsanawiyah,
menyebutkan:
1.
Isi kurikulum
MTs merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan MTs.
2.
Ciri khas agama
Islam diwujudkan dalam bentuk pengembangan bahan kajian pelajaran pendidikan
agama, penciptaan suasana keagamaan dan penjiwaan semua bahan kajian dan
pelajaran dengan ajaran agama Islam.
3.
Isi kurikulum
MTs yang berlaku secara nasional sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian
dan pelajaran :
1.
Pendidikan
Pancasila
2.
Pendidikan
Agama:
a)
Qur’an-Hadits,
b) Aqidah-Akhlak, c) Fiqih,
c)
Sejarah
Kebudayaan Islam, dan e) Bahasa Arab.
(pasal 19).[3]
e.
Metode
pembelajaran;
Metode yang
sering digunakan yaitu ceramah, demonstrasi, diskusi, eksperimen, dll.
Pada masa
periode ini adanya pergeseran dari pola pembelajaran klasik ke modern. Hal ini
ditandai dengan penggunaan berbagai sumber belajar dan media pembelajaran,
seperti halnya penggunaan OHP, komputer, dll oleh siswa dan guru dalam membantu
proses pembelajaran.
f.
Administrasi
dan finansial;
Biaya
penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah.
[1] Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, Undang-undang
RI Nomor 2 Tahun 1989,(Bandung: 1994) h.19-20
[2] Idid, h. 251
[3] Ibid, h. 270-271
1.
Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang
menyelenggarakan satuan pendidikan.
2.
Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku. (pasal
36).
2)
Menurut
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:[1]
a.
Tujuan pembelajaran;
Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. (pasal 3).
b.
Guru;
Pendidik merupakan tenaga profesional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
(pasal 39).
(1)
Pendidik harus
memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
(2)
Pendidik untuk
pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah; dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi
yang terakreditasi.
(3)
Ketentuan
mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 42).
c.
Peserta didik;
(1)
Setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a)
Mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama.
b)
Mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
c)
Mendapatkan
beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya;
d)
Mendapatkan
biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
e)
Pindah ke
program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f)
Menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak
menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2)
Setiap peserta
didik berkewajiban:
a)
Menjaga
norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan.
a)
Ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan
dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(1)
Warga negara
asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Ketentuan
mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal
12).
b.
Materi
pembelajaran;
(1)
Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)
Kurikulum pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3)
Kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a)
Peningkatan
iman dan takwa;
b)
Peningkatan
akhlak mulia;
c)
Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d)
Keragaman
potensi daerah dan lingkungan;
e)
Tuntutan
pembangunan daerah dan nasional;
f)
Tuntutan dunia
kerja;
g)
Perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h)
Agama;
i)
Dinamika
perkembangan global; dan
j)
Persatuan nasional
dan nilai-nilai kebangsaan.
(4)
Ketentuan
mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 36).
1)
Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.
Pendidikan
agama;
b.
Pendidikan
kewarganegaraan;
c.
Bahasa;
d.
Matematika;
e.
Ilmu
pengetahuan alam;
f.
Ilmu
pengetahuan sosial;
g.
Seni dan
budaya;
h.
Pendidikan
jasmani dan olahraga;
i.
Keterampilan/ kejuruan;
dan
j.
Muatan lokal.
2)
Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat:
a.
Pendidikan
agama;
b.
Pendidikan
kewarganegaraan; dan
c.
Bahasa.
Ketentuan mengenai
kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. (pasal 37).
a)
Ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan
dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(1)
Warga negara
asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Ketentuan
mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal
12).
b.
Materi
pembelajaran;
(1)
Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)
Kurikulum pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
(3)
Kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a)
Peningkatan
iman dan takwa;
b)
Peningkatan
akhlak mulia;
c)
Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d)
Keragaman
potensi daerah dan lingkungan;
e)
Tuntutan
pembangunan daerah dan nasional;
f)
Tuntutan dunia
kerja;
g)
Perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h)
Agama;
i)
Dinamika
perkembangan global; dan
j)
Persatuan nasional
dan nilai-nilai kebangsaan.
(4)
Ketentuan
mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 36).
1)
Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.
Pendidikan
agama;
b.
Pendidikan
kewarganegaraan;
c.
Bahasa;
d.
Matematika;
e.
Ilmu
pengetahuan alam;
f.
Ilmu
pengetahuan sosial;
g.
Seni dan
budaya;
h.
Pendidikan
jasmani dan olahraga;
i.
Keterampilan/ kejuruan;
dan
j.
Muatan lokal.
2)
Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat:
a.
Pendidikan
agama;
b.
Pendidikan
kewarganegaraan; dan
c.
Bahasa.
3)
Ketentuan
mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 37).
c.
Metode
pembelajaran;
Pada era ini pendekatan pembelajaran
berorientasi pada siswa (student centered approaches), yaitu pendekatan
pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar dan kegiatan belajar
bersifat modern. Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa,
manajemen, dan pengelolaannya ditentukan oleh siswa. Pada pendekatan ini siswa
memiliki kesempatan yang terbuka untuk melakukan kreativitas dan mengembangkan
potensinya melalui aktivitas secara langsung sesuai dengan minat dan
keinginannya.[1]
Pendekatan ini, selanjutnya menurunkan strategi
pembelajaran discovery dan inkuiry serta strategi pembelajaran
induktif, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada strategi ini peran
guru lebih menempatkan diri sebagai fasilitator, pembimbing sehingga kegiatan
belajar siswa menjadi lebih terarah.
Metode yang sering digunakan yaitu ceramah,
demonstrasi, diskusi, eksperimen, dll.
Pada era modern proses pembelajaran mengalami
kemajuan yang pesat, ditandai dengan penggunaan berbagai sumber belajar dan
multimedia dalam pembelajaran, seperti penggunaan teknologi informasi dan
teknologi komunikasi.
d.
Administrasi
dan finansial;
(1)
Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah; pemerintah daerah,
dan masyarakat.
(2)
Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
(3)
Ketentuan
mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 46).
(1)
Sumber
pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan.
(2)
Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Ketentuan
mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 47).
(1)
Pengelolaan dan
pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik.
(2)
Ketentuan
mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (pasal 48).
(1)
Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Gaji guru dan dosen
yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
[1] Rusman, Deni Kurniawan, Cepi Riyana, Pembelajaran
Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Mengembangkan Profesional Guru (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011) h. 46
(1)
Dana pendidikan
dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam
bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dana pendidikan
dari pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Ketentuan
mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
(pasal 49).
A.
Penutup
Kesimpulan
a.
Strategi yaitu
sebuah rencana berupa rangkaian kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu tujuan
pembelajaran dengan baik dan benar. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kerja
yang efektif, efisien dan profesional. (Pendapat penulis)
b.
Pembelajaran yaitu
sebagai proses kegiatan belajar mengajar. Dalam konteks pembelajaran ada dua
kata kunci penting, yaitu pendidik dan peserta didik yang keduanya saling
berinteraksi. (Pendapat penulis)
c.
Kurikulum yaitu, seperangkat rencana
pembelajaran, tujuan, isi pelajaran, metode, media, dan evaluasi yang harus
dimiliki dan dikuasai pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan. (Pendapat
penulis)
d.
Pendidikan Agama
Islam merupakan usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya
setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran-ajaran agama Islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan
kesejahteraan hidup dunia maupun akhirat kelak. (Versi Departemen Agama RI).
e.
Strategi pembelajaran
kurikulum pendidikan agama Islam dalam undang-undang pendidikan antara tahun
1950, 1989 dan 2003 perbedaan kontennya dapat kita lihat pada beberapa komponen,
yaitu: komponen tujuan pembelajaran, guru, peserta didik, materi pembelajaran,
metode pembelajaran, faktor administrasi dan finansial.
Daftar Pustaka
Database
Peraturan, http://ngada.org. (Undang-undang
Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah).
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996).
Hasbullah,
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011).
Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, Undang-undang RI Nomor 2 Tahun
1989, (Bandung: 1994).
Ladjid,
Hafni, Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta:
Quantum Teaching, 2005).
Marno, Pengembangan Bahan Ajar pada Sekolah (Jakarta : Direktorat Pendidikan Agama
Islam, UIN, 2012).
Muhaemin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah, dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009).
Muslihah, Eneng,
Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Diadit Media, 2019).
Pusat
pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan ilmu pengetahuan
alam kementrian pendidikan nasional 2012.
Putri, Eka Kartika, Femmy dkk, Pedoman Pembinaan Akhlak Mulia
Siswa Melalui Kegiatan Ekstrakulikuler, ( Jakarta, 2010).
Riyanto,
Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam
Implementasi Pembelajaran yang Efektif
dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2012).
Rusman,
Kurniawan, Deni, Riyana, Cepi, Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi, Membangun Profesionalitas
Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
Rusman,
Model-model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012).
Sagala,
Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2012).
Sanjaya,
Wina, Kurikulum dan Pembelajaran,
(Jakarta: Kencana, 2010)
Siregar, Eveline, Nara, Hartini, Teori Belajar dan Pembelajaran,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).
Undang-undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Indonesia legal center publishing, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar